Renungan.. menjelang ramadhan mengenai bahayanya fitnah
Suatu hari seseorang menghadap kyai dan berkata:
“Kyai,
maafkanlah saya yang telah memfitnah pak kyai dan ajarkan saya sesuatu
yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga
lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung
perasaan kyai.
Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Kyai
Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah
membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kyai Husain kepadaku, yang
jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni
dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa
saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa
jenak kemudian, Kyai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar
perkiraanku. Di luar perkiraanku—
“Apakah kau punya sebuah
kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kyai Husain justru
menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.
Kyai
Husain tertawa, seperti kyai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia
sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia
menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.
Tampaknya
Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya
sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan
kemoceng itu?”
Kyai Husain tersenyum.
“Besok pagi,
berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil
mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai
bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di
jalanan yang kau lalui.”
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan
membantahnya. Barangkali maksud kyai Husain adalah agar aku merenungkan
kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per
satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata kyai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
***
Keesokan
harinya, aku menemui Kyai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak
memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang
kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kyai, bulu-bulu kemoceng ini
sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan
lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua
perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya
fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu
banyak orang. Maafkan saya, kyai. Maafkan saya…”
Kyai Husain
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari
raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu.
Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku.
Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Kyai Husain.
Aku
baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya,
tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali
berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju
pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali
ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan
kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti
satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa
kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.
***
Sepanjang
perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi
kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang
melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja
telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang
menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak
mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah
berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi
keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam
lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang
perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang
kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang
berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya
lima helai. Lima helai.
***
Hari berikutnya aku menemui
Kyai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu
kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yang berhasil saya
temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai
Husain.
Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu
yang kaucabuti dan kau jatuhkan sepanjang perjalanan adalah
fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali
perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi
bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah
kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat
yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak
mungkin bisa kauhitung!”
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan
kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling
dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang
menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin
mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari
fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau
akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah
telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak
tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu!
Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar
kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau
kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya.
Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi
dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya
sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku
pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun
saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu
terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya.
Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup
karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung
lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan
keburukanmu kelak.”
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
“Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim…
Astagfirulloh hal-adzhim…”
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari
saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari
saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang
telah aku perbuat.
Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak
meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,”
katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu,
mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih
sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia…
Innallooha tawwaabur-rahiim...”
Aku disambar halilintar jutaan
megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau
semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin
membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini
kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik.
Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya
tentang dirimu dan seseorang yang kau sakiti. Ia lebih luas lagi.
Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”
astagfirullah..sedih bgt baca ini...
ya
Allah ampuni kalau kita suka merasa paling benar dgn ajaran kita dan
juga kita gak tau seperti cara apa mereka mendekatkan diri pada Sang
Pencipta.... Wallahualam..
Belum ada tanggapan untuk "Fitnah - Pemberat Dosa Tanpa Akhir"
Posting Komentar